Menjadi anak yatim itu bukan cita-cita. Itu yang saya rasa sendiri. Kehilangan ayah di usia yang semestinya butuh didampingi tentu bukan sebuah hal yang mudah. Mesti berusaha agar bisa bertahan bersekolah dan mewujudkan mimpi-mimpi beliau. Semua butuh usaha dan upaya. Tidak selalu lancar, tapi dari situlah saya belajar mengerti bahwa hidup memang didesain Rabb seperti permukaan jeruk purut, berkerut, banyak guratan, tidak rata, tidak juga mulus selayak jalan tol. Sekalipun demikian, saya percaya dalam setiap kesulitan disertakan jalan mudah oleh-Nya.
Sepanjang perjalanan, saya pun dipertemukan dengan beberapa penyandang dana beasiswa hingga akhirnya tercapailah semua mimpi alm. ayah. Betapa saya merasa teringankan melewati liku hidup oleh karena bantuan mereka, pihak-pihak yang berhati mulia. Pertolongan mereka perlahan menggerakkan hati saya. Dalam diri saya berjanji, suatu ketika nanti saya ingin menjadi seperti mereka; memiliki hati yang sekalipun kecil tetapi cukup lapang dan teduh untuk memberi naungan kepada orang-orang sekitar yang membutuhkan. Bilamana itu?
Tidak ada proses instan, begitu pula dengan yang saya alami. Niat kadang perlu bersemayam dan menemukan bentuk utuhnya hingga suatu ketika benar-benar mewujud nyata. Hal itu benar-benar terlaksana setelah usia saya mencapai seperempat abad lebih satu, kira-kira dua tahun lalu. Saya melihat sebuah plakat besar (serupa baliho) di depan sebuah rumah di pinggir Jl. Kaliurang km 9,2. Rumah Yatim YAR? Saya tidak pernah tahu bagaimana Rabb benar-benar menggerakkan anggota tubuh saya. Mulai dari mata yang sering mencuri pandang setiap kali melintas di depan rumah tersebut saat berangkat/pulang bekerja.. lalu, motor saya benar-benar berhenti di muka rumah tersebut suatu hari. Seorang muslimah muda bernama Ayu menyambut saya. Ah, senyum ini mengembang seketika. Saya merasakan sesuatu, entah.. tapi yang jelas sesuatu itu mampu menggiring langkah saya untuk kembali (lagi dan lagi) ke Rumah Yatim Yayasan Ar Rohman.
Kedua kalinya saya bertemu dengan Subiah, yang kemudian paling sering menemui saya saat bersilaturahim ke sana. Makanya saya akrab saja memanggilnya mbak Biah. Selain mbak Biah, saya juga berkenalan dengan Asti dan pak Anto. Rata-rata logat mereka sama, Sunda. Ya, memang pusat Rumah Yatim YAR ada di Bandung dengan beberapa cabang di Pulau Jawa. Itu bukan masalah. Mau dari suku manapun, sama saja. Lagipula Rasulullah SAW tak pernah merisalahkan untuk memelihara anak yatim hanya dari satu suku saja. Jadi? Silakan dilanjut!
Di Rumah Yatim YAR Yogyakarta (Jl. Kaliurang) sampai terakhir kali saya bersilaturahim ke sana bulan lalu masih menaungi 16 orang santri putra, termasuk beberapa balita. Saya belum pernah sekalipun mengikuti kegiatan bersama mereka. Baru sekadar mampir menitipkan sedikit yang diberikan Rabb pada saya. Sebenarnya ingin membuat acara bersama mereka, tapi sampai hari ini belum kesampaian. Semoga suatu hari nanti. Pernah terbersit saat saya nanti menikah, ingin sekali bisa mengundang mereka. Berbagi kebahagiaan dan mengamini doa tulus dari anak-anak yatim. Betapa indahnya hal itu. Semoga, aamiin ya Rabb..
Ada banyak berkah/manfaat yang saya rasakan dengan bersedekah. Dari silaturahim itu saya merasakan ada kelegaan tersendiri dalam hati, sesuatu yang tidak pernah bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Yang jelas, sedekah membuka lebar rasa peduli dan empati kepada sesama. Sedekah pula yang membuat beberapa doa saya terkabul; dipertemukan dengan orang-orang berhati mulia di dunia nyata, maupun di dunia maya; dimudahkan urusan; dan disembuhkan dari sakit. Subhanallah.. saya kian yakin bahwa kebaikan akan menemukan tempat berlabuhnya. Seperti halnya keniscayaan berada dekat dengan mereka sesuai sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad,
“Aku dan penjamin anak yatim berada dalam surga seperti telunjuk dan jari tengah. Rasul mengisyaratkan dengan dua jari tengah dan menjarangkan jari-jari lainnya.” (HR Bukhari dan Ahmad).
http://asree84.wordpress.com/2012/10/31/dua-tahun-bersama-rumah-yatim-ar-rohman/
0 komentar:
Posting Komentar