Ketegaran Kakek 95 Tahun Dalam meraih Berkah
Tubuhnya sudah tidak segagah 70 tahun lalu, kulitnya tidak sekencang 70 tahun lalu, kemampuannya tidak sekuat 70 tahun, suaranya pun tidak selantang 70 tahun lalu, namun tidak membuat pria 95 tahun ini kehilangan gairah untuk mencari nafkah.
Kondisi keluarga yang serba kurang serta tingginya kebutuhan hidup membuat pria renta ini tidak bisa menikmati masa tuanya di kampung halaman, ia tetap harus banting tulang untuk membantu memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.
Ia bernama Tarma, pria kelahiran Cisurupan Garut tahun 1921 ini sudah 50 tahun mencoba memperuntukkan nasib di Ibu kota Jawa Barat. “Abdi atos ti warsih 1966 di Bandung,warsih 1956 dugi 1982 abdi kantos didamel minangka kacung di gedong kaduh jalmi Belanda di jalan Turnojoyo,saterasna abdi didamel minangka kuli wangunan,tukang beca sarta atos 2 warsih dugi ayeuna barobah kaayaan tukang balon. (aya sudah dari tahun 1966 di Bandung, tahun 1956 sampai 1982 saya pernah bekerja sebagai kacung di gedung milik orang Belanda di jalan Turnojoyo, seterusnya saya bekerja sebagai kuli bangunan, tukang becak dan sudah 2 tahun sampai sekarang menjadi tukang balon keliling.)” kata Tarma, Suaranya terdengar bergetar dan omongannya sudah tidak terlalu jelas mungkin karena giginya yang telah keropos dimakan usia.
Tarma bekerja sebagai pedagang balon keliling di sekitar jalan Banda, Citarum, Cihapit, dan Cilaki Bandung. Setiap hari ia menyusuri jalan untuk menawarkan dagangannya, menurut Tarma hasil dagangannya itu belum mencukupi kebutuhannya, Tarma mematok harga balon Rp. 10.000 dengan untung Rp. 2.000 kalau dagangannya laku 6-12 balon, Tarma bisa menyisihkannya untuk pulang kampung tapi kalau hanya laku 2-6 balon ia tidak dapat menyisihkan uang hasil dagangannya dikarenakan hanya cukup untuk makan saja bahkan pernah jualan Tarma tidak laku sama sekali, terpaksa ia tidak bisa makan hari itu. Ia pun mengatakan jarang sekali pulang kampung dikarenakan tidak memiliki uang. Rasa lelah memang sering dirasakan pria renta ini, namun semangatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga telah meluluhkan rasa lelah tersebut.
Kini kedua anaknya mengikuti jejak Tarma di Bandung, sudah satu tahun ia tinggal di kontrakan kecil bersama kedua anaknya yang bekerja sebagai tukang parkir didepan Jonas Photo jalan Banda. Sebelumnya Tarma tinggal sendiri, ia pun mengatakan pernah tinggal dipinggir jalan karena tidak punya uang.
“Anak abdi aya genep sarta atos rimbitan,abdi sarta nini henteu tiasa ngagantungkeun hirup dina maranehanana sumawonten maranehanana ngan didamel minangka tukang parkir,kuli wangunan sarta aya anu kanggo teu digawe. abdi embung ngabeungbeuratan maranehanana,salila abdi sanggem keneh sarta damang,abdi bade angger didamel anu peryogi halal sarta mahi keur nyumponan kaperluan nini di lembur. ( Saya mempunyai 6 anak dan sudah berkeluarga, saya serta nini (istri) tidak bisa menggantungkan hidup pada mereka karena mereka cuman bekerja sebagai tukang parkir, kuli bangunan dan ada yang pengangguran. Saya tidak mau membebani mereka, selama saya bisa dan sehat, saya masih bisa bekerja yang penting halal agar bisa memenuhi kebutuhan istri di kampung.)” kata Tarma
Dulu sewaktu muda, Tarma pernah bekerja sebagai buruh tani di kampung halamannya di Cisurupan Garut, namun pekerjaan tersebut belum mencukupi kebutuhannya, tahun ahun 1966 Tarma mulai mencoba memperbaiki nasib di Ibu Kota Jawa Barat.
Walaupun Tarma hanya seorang pedagang balon keliling dengan penghasilan pas-pasan, namun ia tetap bersyukur masih diberikan kesehatan, umur panjang dan masih diberi rezeki oleh Allah Swt.
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. (Al-baqarah:172)
0 komentar:
Posting Komentar