Beberapa kesempatan yang lalu, Rumah Yatim Cabang Yogyakarta mengadakan kegiatan bantuan biaya hidup. Ada kisah menarik dan mengharukan dari salah seorang penerima bantuan. Kisah yang akan membuat kita lebih bersyukur akan nikmat kesempurnaan tubuh yang dimiliki.
Teplu (35) begitulah ia dinamai orang tuanya. Teplu hidup dan tinggal bersama ibunya di kawasan perbukitan, lebih tepatnya Desa Ponces Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta.
Teplu adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Semua saudaranya merantau dan sudah berkeluarga, kecuali dia. Kondisi fisiknya tak sempurna seperti saudaranya yang lain.
Teplu lahir tidak sempurna. Kedua kaki dan tangannya berukuran kecil dibanding tubuhnya. Bisa dikatakan tidak proposional seperti orang-orang umumnya. Ia juga mengalami kesulitan bicara semacam gagap. Kondisi ini membuat ia tak dapat berjalan sejak lahir sehingga ia tak dapat bersekolah seperti anak-anak lainnya.
Teplu tak dapat membaca dan menulis. Ia juga tak sempurna secara fisik. Namun, tak ada keadilan yang lebih adil selain Allah. Teplu dianugerahi keterampilan di tangannya.
Ayah Teplu dulu semasih hidup adalah seorang penganyam bambu. Sejak kecil, Teplu sering memperhatikan ayahnya bekerja. Ia pun mencobanya sendiri tanpa diajarkan, hanya memerhatikan. Alhasil? Teplu berhasil membuat anyaman tampuah (alat penampi beras) tanpa diajarkan.
Sejak saat itulah, Teplu menganyam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengerjakan semua prosesnya sendiri. Mulai dari memotong bambu, membelah, dan semua prosesnya. Dalam satu minggu, ia menghasilkan satu produk yang per produk dihargai Rp 15.000. Produk ini seringnya ia titipkan pada tetangga yang hendak ke pasar untuk bantu dijualkan.
Untuk bahan baku berupa bambu, Teplu membeli pada tetangga lainnya dengan harga Rp 4000. Satu bambu dengan panjang sedang bisa dibuat 2 anyaman tampuah.
Sehari-hari Teplu hidup bersama sang ibu, yang sejak lahir selalu berada di sampingnya. Ibunya tak muda lagi, sudah berusia 75 tahun. Sang ibu bekerja di ladang, menanam tanaman bahan baku jamu seperti temulawak, jahe, dan lainnya untuk kemudian dijual.
“Saya nggak pernah menyesal dengan kondisi Teplu. Saya menerimanya dengan lapang, tidak merasa terbebani sedikit pun. Dia anak saya bagaimana pun keadaanya. Dia satu-satunya yang bisa menemani saya hingga kini.” Ujar sang ibu ketika ditemui oleh Tim Rumah Yatim.
Penerimaan itu tak hanya dari sang ibu. Teplu dengan segala keterbatasannya bahkan tetap memberikan bakti pada ibunya. “Kalau pagi Teplu kebangun duluan, dia langsung ke dapur. Dia menyalakan tungku sendiri, menaruh air di periuk, dan dia yang merebuskan air untuk ibunya.” Jelas salah satu Tim Rumah Yatim Faizin yang ikut mengunjungi keduanya.
Tegar. Begitu kira-kira yang digambarkan Faizin melihat situasi kedua ibu beranak ini. Tak ada sedikit pun keluh kesah dan beban. Seolah mereka menikmati takdir yang Allah berikan.
Rasa kasih sayang keduanya pun mengharukan. Mereka saling melengkapi dan hidup berdampingan. Kisah anak lelaki dan ibunya yang mungkin jarang ditemui dewasa ini. “Yang saya khawatirkan itu cuma satu. Saya sudah tua. Nanti kalau saya mati, siapa yang akan mengurusi Teplu? Siapa yang akan di samping Teplu?” ujar sang ibu yang membuat renyuh hati Tim Rumah Yatim.
0 komentar:
Posting Komentar