Zul, staf Rumah Yatim Aceh yang akrab disapa Bang Zul, berpapasan dengan seorang bocah berseragam SD lusuh berjalan kaki. Ia tampak bergegas menapaki tanah dengan sepasang sepatu yang rusak. Hari berikutnya, di pagi yang sama seperti kemarin, sang bocah tetap mantap berjalan kaki, ditemani seragam lusuh, sepatu rusak, dan menyandang tas sekolah yang usang.
Di hari lainnya, Bang Zul melihat lagi pemandangan yang sama, namun kali ini perawakan lebih kecil. Wajahnya yang penuh peluh, nampak serius berjalan melewatinya. Hampir setiap setiap hari, Bang Zul bertemu kedua anak itu.
Sampai akhirnya suatu hari, Bang Zul memberanikan diri untuk mengajak berbicara anak itu pertama kalinya. Menawarinya untuk mengantarnya ke sekolah.
“Mau kemana?”
“Ke sekolah,”
“Setiap hari jalan kaki?”
“Ya, setiap hari jalan kaki ke sekolah”
Setiap kali bertemu Bang Zul menyempatkan mengantarnya ke sekolah. Tugas Bang Zul sering kali harus keluar asrama. Peristiwa yang dijumpainya ini yang membawa perubahan untuk kedua bocah itu.
Pertemuan singkat ini, membuat Bang Zul penasaran tentang mereka.
“Kapan-kapan boleh main ke rumah?”
“Boleh,” jawab bocah itu singkat.
Bang Zul dibawa ke sebuah desa bernama Setui di wilayah Punge Ujong. Di salah satu lorong, bersama bocah itu ia diajak ke sebuah rumah—jika pantas disebut rumah. sesaat Bang Zul terkesiap dalam hatinya ketika masuk ke dalamnya yang gelap gulita.
Penerangan samar-samar dari celah-celah dinding bilik kayu dan atap-atap yang agak bolong. Cahaya matahari tembus membuat garis-garis yang menyilaukan. Beruntung mereka bertemu siang hari sehingga dapat melihat lebih jelas.
Mereka pun berbincang dan berkenalan. Ternyata kedua bocah itu kakak-beradik, sang kakak yang pertama kali dijumpai Bang Zul adalah Rahmat, kelas 7 SMP. Dan bocah kedua, Abdul Aziz namanya, ia kelas 5 SD.
Kedua bocah ini kehilangan ayahnya sekitar 4 tahun yang lalu. Ayah mereka seorang nelayan yang meninggal di tengah lautan lepas. Mereka 4 bersaudara, Rahmat si sulung, adik perempuan di nomor dua, Abdul Aziz anak ketiga, dan si bungsu laki-laki.
Sekolah mereka terletak sekitar 4 km dari rumahnya. Mereka berjalan kaki selama 1 jam, dan 2 jam perjalanan pulang pergi. Agar tidak kesiangan, mereka bergegas lebih awal.
Ternyata setelah diketahui, keluarga mereka bukanlah penduduk asli setempat. Merantau demi kehidupan yang lebih baik setelah kehilangan ayah dan kepala keluarga tidaklah mudah.
Sepeninggal sang ayah, bersama ibu mereka dari Sigli menuju Punge Ujong yang jaraknya berkilo meter jauhnya. Saudara perempuan mereka dititipkan di salah satu family. Sang ibu memboyong 3 anak laki-lakinya ikut serta.
Di tengah kesulitan mencari tempat tinggal, seseorang pemilik rumah menawari mereka tinggal di sana. Tak peduli kondisinya seperti apa, yang penting ada tempat bagi keluarga mereka untuk bernaung. Memberikan kesempatan tinggal adalah hal yang sangat mereka syukuri.
Menyambung asa di tempat baru, ibu beralih peran mencari nafkah. Ia rela menjadi buruh cuci di sebuah kedai nasi. Setiap hari mulai mencuci dari jam 6 sore sampai 1 dini hari baginya bukanlah apa-apa. Yang penting anak-anaknya tidak putus sekolah dan tetap makan walau seadanya.
Namun, kenyataan sungguh menyayat, upah cuci Rp 15.000 setiap harinya tak mampu mencukupi makan ketiga anaknya. Terkadang mereka makan, dan tetap sabar kalau tak makan hari itu.
Berada di sekitar rawa, semak-semak tebal, dan rerumputan tinggi, mereka nikmati setiap harinya. Lingkungan sekitar masih nampak beberapa tetangga dekat rumah. Namun, status pendatang rupanya seakan jadi magnet rasa segan bergaul dengan mereka.
Seperti kebutuhan listrik untuk penerangan yang harus meminta ke tetangga. Tak urung mereka lakukan karena tak sanggup membayarnya. Jadilah gulita teman setia yang menaungi mereka ketika hari mulai senja.
Kebutuhan primer lain, air bersih pun tak kunjung mereka peroleh dengan layak. Bersusah payah mengumpulkan air PAM dengan menampungnya ember demi ember. Diangkut dari berjalan kaki menahan berat kemudian dipakai seirit mungkin untuk semua kebutuhan MCK tiap harinya.
Terenyuh menyaksikan realita hidup keseharian mereka, Bang Zul merasa terpanggil. Mulai membantu mengantar kedua bocah ke sekolahnya masing-masing. Inisiatif berlanjut ke diskusi bersama pihak Rumah Yatim Aceh. Silaturahim pun dijalankan untuk lebih mendalami kondisi keluarga Rahmat dan adiknya, Aziz.
Sang ibu setuju, salah satu anaknya tinggal di asrama. Sebagai permulaan, Rahmat lebih dulu tinggal di sana. Proses adaptasi bagi Rahmat tinggal tidak bersama orangtuanya baru sekali ini terjadi. Rahmat baru 2 malam di asrama jatuh sakit. Setelah dibawa ke dokter untuk diperiksa dan membaik, Rahmat dipulangkan saja ke ibunya.
Kuatnya asa dalam mata mereka, tekad kuat merajut masa depan. Kegigihan mereka sekeluarga membangkitkan semangat Rumah Yatim bahu membahu mendukung mereka. Walau tak satu atap, kedua bersaudara ini berada di bawah asuhan Rumah Yatim berstatus non mukim.
Seragam sekolah yang robek tetap menempel di badan. Kaki-kaki tangguh mereka masih setia ditemani sepatu yang sudah menganga dadas di sana-sini. Mengintip jari-jari kecil mereka dari lubang kaos kaki yang mereka kenakan. Tak sabar rasanya Rumah Yatim menyambangi kembali mereka dengan banyak kejutan.
Semua kebutuhan sandang sekolah mereka sudah berganti dengan yang baru. Seragam mereka tak lagi usang, sepatu yang kokoh mengkilat, di dalamnya ada kaki tertutup kaos kaki bersih. Aksi yang dipelopori Rumah Yatim ini menggugah seorang donatur yang tak lain tetangga Bang Zul.
Ia mengetahui Rahmat bersekolah dengan berjalan kaki. Spirit bersekolah menimbulkan keinginannya menghadiahi Rahmat sebuah sepeda baru. Sementara Bang Zul membantu Aziz dengan membiayai perbaikan sepedanya.
Dukungan sandang resmi diserahkan belum lama ini, wajah mereka sangat gembira. Mereka bersekolah dengan penampilan yang lebih baik dan percaya diri. Tak kalah pentingnya, gizi keluarga mereka yang harus tercukupi. Demi mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, bahan sembako seperti beras, telur, gula, mi instan, disertakan uang santunan dan paket dari para donatur berhasil terhimpun.
Selanjutnya, Rumah Yatim kompak menyokong kebutuhan listrik keluarga mereka. Dan mengusahakan air bersih sampai benar-benar dapat digunakan tanpa kesulitan. Rencananya, Rumah Yatim akan mencari sumber air di sekitar rumah dan memasangnya. Dan membantu meringankan iuran rutin listrik dan airnya.
Keharuan menyelimuti keluarga yang selama ini tidak terlalu dipedulikan oleh tetangga sekitarnya. Seakan tak percaya, banyak perhatian mendatangi mereka. Tak dapat lagi menyembunyikan rasa syukur dari wajah-wajah yang selama ini bertahan dari banyak kesulitan.
Keyakinan tumbuh dari dalam diri mereka, bahwa Allah tidak pernah tidur dan selalu mengabulkan harapan hambaNya. Terutama bagi kedua kakak beradik asal Sigli ini yang melaju dengan sepeda barunya mengejar cita-cita…
0 komentar:
Posting Komentar