Meniti Impian Seorang Produser Film
Industri multimedia yang menjadi bagian dari ekonomi kreatif di Indonesia sedang berada di puncak popularitas peminatan profesi di kalangan anak muda. Lebih dari satu dekade ke belakang, sejak awal tahun 2000-an kegandrungan ini seakan menebar harapan baru para peminatnya untuk berkecimpung di bidang ini.
Ketertarikannya terhadap dunia multimedia bermula dari niatnya yang ingin belajar desan grafis menjelang akhir SMP. Anak asuh Rumah Yatim Kedaton, Bandar Lampung yang bernama Setiawan ini menjadi salah satu anak muda yang penasaran dengan bidang multimedia. Wawan, begitu ia biasa akrab disapa, disarankan oleh teman-temannya mengambil jurusan multimedia yang cocok dengan minatnya. Karena untuk belajar desain grafis harus masuk jurusan multimedia, ia mendaftar ke SMK Negeri 1 Bandar Lampung, dan diterima di jurusan multimedia.
“Saya sebenarnya kurang tahu soal multimedia, tapi saya ingin ke (desain) grafis, karena tidak tahu saya tanya teman-teman, katanya kalau mau belajar desain grafis harus ke jurusan multimedia,” kata Wawan yang asli dari Desa Karangsari, Ketapang, Kalianda, Lampung Selatan. Ia lalu mengikuti proses belajarnya sampai di tengah perjalanannya ia jadi menemukan sesuatu yang baru yang disukai dan memicu semangatnya, yaitu pembuatan video.
Menemukan keasyikan seputar pembuatan video, yang berkembang jadi film, Wawan pun bergabung dengan sebuah ekskul di sekolahnya, Muedia 1 atau Multimedia 1. Sebuah organisasi ekstra kulikuler (ekskul) di SMKN 1 yang mewadahi para siswa yang ingin memperdalam dan sharing ilmu di bidang multimedia.
Di sana ia bergabung bersama kakak kelasnya yang memiliki minat yang sama. Selain mengasah kemampuannya, di sini menjadi wadah yang menciptakan link ke orang-orang yang berminat sama dari berbagai daerah. Pertukaran informasi dan ilmu memupuk kemauannya untuk terus belajar. “Saya mulainya dari ikut kakak kelas yang hobinya sama, bareng-bareng jadi satu, di sana saya banyak mendapat info, termasuk lomba-lomba,” ucapnya.
Ketika ditanya apakah jurusan multimedia sejauh ini sesuai dengan harapan pertamanya, ia mengakui jurusan ini kurang sesuai harapan, akan tetapi tidak menyesalinya sama sekali. Justru, di tengah perjalanan belajarnya ini Wawan seperti menemukan sesuatu dalam dirinya. “Memang kurang sesuai harapan tujuan awal ya, karena multimedia lebih banyak belajar video, untuk (desain) grafisnya sendiri masih dipelajari, cuma kebutuhan saja sebagai pelengkap kalau bikin video,” beber Wawan.
Hingga saat ini sudah beberapa video dan film pendek yang dihasilkan. Beberapa berupa film dokumentasi, lalu film yang dijelaskan Wawan sebagai kategori film/video jurnalistik, seperti yang akhir-akhir ini dibuat, citizen journalism. Penggemar sutradara terkenal Joko Anwar ini juga mulai membuat film pendek bercerita bergenre fiksi. Ia mengaku mendapatkan sumber inspirasi dari film-film sutradara Modus Anomali ini. Menurutnya, menonton film-film karyanya seperti menariknya keluar dari kotak yang menjebak dengan hal-hal yang monoton.
Namun, Wawan mencoba memberanikan diri menciptakan ide-ide yang tak biasa untuk karya genre fiksinya ini. Dari situlah ia menyadari bahwa film bukan melulu soal bagaimana membuatnya sampai jago, tetapi jauh ke dalamnya adalah berpijak dari menggali ide dan mendapatkan inspirasi demi karya yang berkualitas.
Maka, anak pertama dari 3 bersaudara ini rajin memburu film-film di jenis fiksi lewat Youtube di internet di kala sempat dan senggang. Ia pun mengetahui film-film karya Joko, seperti Durable Love yang jadi salah satu favoritnya dari sana. Di ekskul tempatnya bergabung, tak jarang ia mendapat informasi lomba, bersama kakak kelas dan teman-temannya yang lain ia pun mengikutinya.
Berkenalan dan berproses di dunia multimedia
Setiawan sungguh beruntung bisa mengenal dunia multimedia mulai dari desain grafis dari Rumah Yatim. Ia mengatakan berangkat dari dasar keinginan untuk belajar dan mengetahui lebih dalam. Ya, peran seorang donatur yang membukakannya pintu awal dari cita-citanya. Donatur Rumah Yatim ini yang lupa diketahui namanya seorang dosen Universitas Lampung (Unila) yang mengisi waktu kosongnya berbagi ilmu kepada anak asuh. Saat itu dosen desain grafis ini datang setiap seminggu atau dua minggu sekali mengajar disana. Ia diperkenalkan dengan aplikasi komputer khusus desain, seperti Corel Draw dan Photoshop.
Wawan langsung jatuh cinta dengan keunikan bidang seni yang satu ini. Yang dapat ia lihat dan temukan hingga muncul keakraban dalam kesehariannya. “Keunikannya, ya ini seni, yang membuat penasaran, seperti menggabungkan warna-warna, dan segala macamnya, lalu bagaimana memanipulasi foto, membuat banner, juga proses editing yang saya sukai,” ujar anak sulung dari tiga bersaudara ini.
Sedangkan, ketertarikan pada film yang muncul dalam perjalanannya belajar di sekolah, juga lahir ketertarikan membuat video. Bagaimana proses yang terjadi selama di belakang layar sampai menjadi bentuk visual yang dapat disaksikan penonton. “Saya penasaran kalau lihat film di tv, ini kok bisa seperti ini, bagaimana buatnya, sperti apa sih di belakang layarnya, apalgi kalau ada angle yang berpindah-pindah, idenya darimana datangnya sampai penonton bisa suka,” kata penyuka film genre action ini.
Begitu aktif berpraktek, Wawan dan teman-teman menjajal kemampuan berkarya dengan mengikuti berbagai lomba, seperti pembutan video, film dokumenter, atau berdurasi pendek. Beberapa lomba pernah diikutinya diantaranya yang diadakan antar sekolah, se-provinsi sampai tingkat nasional, diantaranya di Yogyakarta, Lampung, dan Jakarta. Salah satunya bahkan diikutsertakan ke sebuah lomba di stasiun televisi swasta, yang salah satunya sutradara terkenal, Hanung Bramantyo.
Kepala Asrama Kedaton Hendy menerangkan, sejak ikut lomba tersebut, Wawan yang masih kerabatnya ini semakin serius dan terinspirasi berkiprah seperti sutradara film Sang Pencerah itu. Mulailah, Wawan giat bereksplorasi bukan hanya segi teknisnya saja, tetapi juga bagaimana mendapatkan ide dan inspirasi. Ya, membuat film tak berbicara soal ramai tidaknya penonton, Wawan menyadari proses belakang layar sangat penting menentukan segalanya. Ia pun belajar menuangkan ide-idenya agar lebih terpetakan dalam sebuah skenario atau skrip yang baik.
Membuat sebuah film bagus ternyata tak semudah yang dibayangkan penontonnya. Proses lahirnya karya yang baik tergantung pada proses yang dilalui dari awal sampai akhir produksinya yang melibatkan banyak hal. Pengagum aktor Iko Uwais dan Joe Taslim ini paham benar akan banyaknya tantangan yang dijumpai selama proses yang cukup memakan waktu.
Kendala lainnya, ketika ia harus multitasking alias melakukan semuanya sendiri . Memiliki banyak kemampuan memang membuat dirinya dapat dipercaya dan diandalkan, tapi di sisi lain posisi seperti ini dapat merugikannya dalam kondisi tertentu. Teman-teman seringkali bergantung padanya, dan ini sungguh menciptakan dilemma tersendiri. “Ya, kendala lain, saya suka jadi babunya juga, mulai dari bikin ide cerita, ngatur-ngatur ini-itu, sampai ngeditnya juga,” ucapnya sambil tergelak.
Hal ini pun diakui oleh Hendy yang pernah ikut terlibat dalam film pendek dengan anak asuhnya ini. Ia maklum kondisi Wawan yang tentu paling ahli bidang ini dibanding yang lain apalagi dengan teman-temannya di asrama. Jadi wajar saja Wawan harus mengerjakan segalanya sendiri karena teman-teman yang lain masih awam dengan kegiatan ini. Ia pun sering dipusingkan mengatur dan mengarahkan akting pemain selama syuting.
Hendy mencontohkan sewaktu menggarap film pendek bersama para anak asuh, berjudul “Meraih Masa Depan”, selain dirinya yang berperan sebagai seorang ayah, Wawan melibatkan juga beberapa adik asramanya yang masih SD untuk berperan di film. “Ya, namanya juga anak-anak ya, belum mengerti, jadi mereka masih kebingungan kalau disuruh begini begitu,” imbuh Hendy.
Masalah lainnya, soal teknis dari minimnya peralatan yang kadang mempengaruhi kualitas hasil filmnya. Begitu banyaknya rintangan yang harus dilalui, tak menyurutkan semangat berkarya.
Dalam keterbatasan dan berbagai hal yang dialami, beberapa filmnya berhasil meraih beberapa penghargaan dan nominasi dalam beberapa kategori. Umumnya, filmnya berupa film dokumenter, dan film pendek bergenre fiksi. Ya, sesuai disebutkan di atas, ide-ide fiksi yang unik ia dapatkan dari sutradara yang populer dengan cerita film fiksinya itu.
Beberapa kali ia ikut kompetisi, ada sebuah pengalaman yang sampai kini berbekas pelajaran penting di benaknya . Waktu itu ia mengirimkan sebuah film karyanya di sebuah lomba yang sebagian besar diikuti oleh para mahasiswa, dan hanya dirinya saja yang masih berstatus pelajar SMA. Tak disangka, ia mendapat nominasi di tempat ketiga.
Namun, tak lama ia harus terkena diskualifikasi oleh panitia karena menggunakan musik pengiring filmnya yang berasal dari karya lain. Yang menjadi tuntutan panitia, peserta harus membuat seluruh elemen karyanya asli buatan sendiri.
Seperti dikisahkan Hendy, keterbatasan peralatan tidak memungkinkan Wawan membuatnya sendiri. Dari sanalah Wawan mengenal pentingnya orisinalitas dalam berkarya dan berkreativitas. Hendy pun tetap bangga terhadap Wawan yang tak menyerah atau kecewa. Yang penting, kata Hendy, Wawan siap menerima kenyataan dan mau terus belajar berkarya yang lebih baik lagi.
Saat ini Wawan mengatakan, ia berkeinginan membuat film jenis aksi-komedi seperti salah satu favoritnya. Ia menilai film dengan jenis tersebut tidak membosankan ditonton, seperti film-film aksi Oriental yang dibintangi Jacky Chan. Film aksi tak harus selalu tegang, dibalik aksi yang serius ia ingin memasukkan unsur yang memancing tawa di dalamnya.
Keluarga, Kampung Halaman dan Harapan Masa Depan Ia bercita-cita ingin menjadi produser film yang sukses di masa depan. Namun, setelah menekuninya selama ini, ia sangat memahami bahwa untuk menekuni dunia multimedia, khususnya video dan film membutuhkan banyak biaya, maka ia memilih bersabar saja menjalaninya. Lahir di keluarga sederhana yang berprofesi sebagai buruh tani, menyadarkan betapa keluarganya lebih membutuhkannya untuk menyambung hidup sehari-hari.
Remaja kelahiran 20 September 1996 ini sempat menghentikan pendidikan formalnya selama setahun. Ia harus fokus membantu orangtuanya di rumah untuk mengurus ternak, seperti kambing dan sapi sejak putus sekolah. Lantaran kurangnya biaya, pilihan bekerja membantu orangtua menjadi prioritasnya.
Setahun kemudian, Allah menunjukkan kasih sayangNya dengan memberinya kesempatan belajar dan bersekolah lagi. Hendy menuturkan, sekitar 7 tahun lalu, tepatnya 2009, pada awal berdirinya Rumah Yatim Lampung, sedang kesulitan survey ke daerah-daerah mencari anak asuh yang akan dibantu. Kesulitan disebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat di sana karena kekhawatiran anak mereka yang dititipkan diperlakukan tidak baik.
Melalui Hendy, yang memperkenalkan Rumah Yatim, meyakinkan kedua orangtua, Wawan akan dirawat, disekolahkan, dididik bersama Rumah Yatim. Mereka tidak perlu khawatir soal biaya, karena Rumah Yatim akan menanggungnya termasuk untuk sehari-hari. Orangtua pun setuju, dan Wawan pun bersedia ikut tinggal di asrama Rumah Yatim.
Alhamdulillah, sampai hari ini Wawan di bawah asuhan Rumah Yatim berhasil membuktikan dirinya jadi sosok yang membanggakan. Dan Rumah Yatim mengemban amanah yang diberikan orangtua Wawan. Melihat Wawan yang sekarang, orangtua mengungkapkan rasa gembira dan bangganya, Wawan akhirnya meneruskan sekolah.
Hebatnya, meski Wawan menggeluti jurusan multimedia yang bejibun tugas, prestasi akademisnya pun bersinar. Wawan tak jauh berada di dalam 3 besar, contohnya sewaktu SMA, ia dapat di peringkat ketiga , dari sebelumnya di peringkat kedua dari 49 siswa di kelasnya. Berprestasi dalam hal pendidikan dan hobi, siapa orangtua yang tak bangga ? mereka merasa selama ini doanya terjawab yang terwujud nyata dalam keberhasilan Wawan.
Mengenai masa depan, seperti yang diungkapkan Hendy, Wawan kerap berdiskusi dengannya, sebelum menyampaikan keinginan dan rencananya ke orangtuanya. Ia tengah menyiapkan bekal masa depannya, selain prestasi belajar, ia juga menabung pengalaman untuk membuka peluang usaha.
Di samping tawaran untuk merekam berbagai acara, Wawan pun membuat dan membantu karya desain grafis, animasi, dan fotografi. Begitu konsistennya beraktifitas di bidang ini, seorang donatur yang akrab disapa Bunda tertarik mendukungnya dengan memberikan fasilitas kepadanya berupa kamera DSLR. Bentuk dukungan ini ia manfaatkan sebaik mungkin untuk membantunya berkarya dan mengerjakan beberapa proyek.
Pengalaman magangnya di Alif tv, sebuah stasiun tv yang memuat tayangan Islami, selama sekitar 3 bulan, memperkuat keinginannya membuka usaha di bidang multimedia, seperti studio dan jasa rekaman event di kampung halamannya. Ia mengungkapkan keinginannya kepada orangtuanya kalau untuk membuka usahanya itu ia membutuhkan modal, oleh karena itu ia mengumpulkannya dari sekarang.
Harapannya membuka usaha tak lain karena terdorong oleh rasa tanggung jawabnya untuk membantu perekonomian keluarganya. Sedikit demi sedikit, jika ia mendapat rezeki lebih, ia berikan untuk keluarganya di rumah. Tak peduli berapa pun jumlahnya, orangtuanya bersyukur yang diberikan Wawan. Ia tergerak untuk langsung bekerja selepas sekolah, dan memulai usahanya.
Ia tak tega melihat adiknya harus mengalami hal yang sama seperti dirinya dulu. Saat itu, adiknya pun diajak agar tinggal bersamanya di Rumah Yatim, tapi adiknya menolak dan memilih di rumah membantu orangtuanya saja.
Bukannya tak terlintas keinginan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, namun ia merasa kewajiban terhadap keluarganyalah yang paling penting dalam waktu dekat ini. Ia ingin mengembalikan adiknya ke bangku sekolah agar tak lagi di rumah, dan meringankan beban ekonomi keluarganya. Seraya berjalan, jika suatu saat diberikan rezeki berlebih ia berencana mengambil kuliah kelas karyawan agar dapat terus bekerja.
Hendy sebagai walinya saat ini menyerahkan pilihan kepada anak asuhnya itu agar mempertimbangkan setiap keinginannya. Jika itu yang terbaik, ia akan mendukungnya selama itu baik untuk dirinya dan keluarganya. Kalau pun Wawan memilih kuliah, Hendy juga mengatakan tetap mendukungnya dengan membantunya mencarikan peluang bagi Wawan, seperti beasiswa. Yang terpenting, orangtua Wawan selalu mengingatkan agar ia tidak salah memilih jalan dan sama sekali jauh dari hal-hal negatif.
Wawan tak lupa akan cita-citanya yang lain, menelurkan karya kreatif yang di dalamnya mengangkat potensi alam dan budaya di kampung halamannya. Beberapa karyanya memang menampilkan beberapa setting di beberapa tempat, yang diakui Hendy letaknya cukup berjauhan. “Ya, dia bilang sama saya kalau pemandangan alam di Lampung Selatan ingin ia tampilkan dalam video atau film buatannya, supaya dikenal jadi objek wisata,” ujar Hendy.
0 komentar:
Posting Komentar