Oleh A. Fatih Syuhud
Abu Thalib sangat menyayangi keponakannya sebagaimana sayangnya Abdul Muttalib, kakek Nabi dan ayah Abu Thalib, kepada cucunya. Rasa sayang Abu Thalib pada Nabi melebihi rasa sukanya pada anaknya sendiri. .. Oleh karena itulah, Abu Thalib tidak ingin mengajak Nabi melakukan perjalanan panjang ke Suriah pada saat usianya baru 12 tahun. Abu Thalib berfikir ia terlalu muda untuk menjalani perjalanan padang pasir yang sangat berat. Namun ia akhirnya mengizinkan Muhammad setelah Nabi bersikeras untuk ikut.[1]
Kalau Nabi mulai belajar berbisnis sejak usia yang begitu belia bahkan masih anak-anak, maka pantaslah kalau beliau menjadi seorang pengusaha yang sukses. Karena, menurut seorang pakar bisnis, seorang pebisnis sejati yang sukses adalah apabla ia memiliki pengalaman entrepreneurship (kewirausahaan) sejak dini.[2]
Menurut Syafii Antonio, Nabi mulai merintis karir dagangnya pada usia 12 tahun dan memulai usahanya sendiri ketika berumur 17 tahun. Pekerjaan ini terus dilakukan sampai menjelang beliau menerima wahyu pada usia 37 tahun. Dengan demikian, Nabi menjalani kehidupan sebagai pebisnis selama kurang lebih 25 tahun. Hal ini lebih lama dari masa kerasulan Nabi yang berlangsung sekitar 23 tahun.[3]
Aktivitas Nabi yang dilakukan sebelum kerasulan beliau menjadi pertanda yang nyata bahwa dalam Islam bekerja keras untuk urusan duniawi bukanlah sesuatu yang ditabukan. Lebih dari itu bekerja dan berbinis justru dianjurkan dan menjadi salah satu bagian dari ibadah.
Aktivitas Bisnis dalam Islam
Islam tidak melarang pemeluknya untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarga. Sebaliknya, aktivitas bisnis sangat dianjurkan. Bekerja keras untuk mendapatkan rejeki yang halal adalah perintah. Dalam QS Al-Jumah 62:10 Allah berfirman: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Ayat ini ditujukan pada umat Islam yang sedang melakukan kegiatan bisnis pada hari Jum’at sejak pagi hari, agar mereka tidak lupa melakukan shalat Jum’at dan baru melanjutkan kegiatan setelah shalat Jumat selesai. Ayat ini secara implisit menegaskan bahwa Islam tidak memperkenalkan masa libur untuk bekerja. Seorang muslim dianjurkan untuk bekerja tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal libur. Walaupun pada hari Jum’at. Hari yang dalam Islam dianggap khusus. Ini berbeda dengan di agama lain di mana pemeluk Yahudi harus libur di hari Sabtu dan pemeluk Nasrani harus libur di hari Minggu. Apabila spirit ini diikuti, maka umat Islam adalah umat yang memiliki etos kerja paling tinggi. Konsekuensinya, maka umat Islam akan menjadi umat yang paling berhasil dalam segi pencapaian ekonomi.
Pengusaha muslim semestinya yang menjadi 100 orang terkaya dunia versi majalah Forbes. Kalau dalam realitasnya tidak demikian, maka tentu yang salah adalah umat Islam yang tidak mengamalkan perilaku ekonominya sesuai dengan spirit ideal Islam .
#RyLebihDekat
Insya Allah Bersambung Minggu Depan “Sumber Penghasilan yang Dilarang”
CATATAN AKHIR
[1] Muhammad Husain Haikal, Hayatu Muhammad, terjemah bahasa Inggris The Life of Muhammad oleh Ismail Raji Al-Faruqi, hlm. 54.
[2] Kevin D. Johnson, The Entrepreneur Mind: 100 Essential Beliefs, Characteristics, and Habits of Elite Entrepreneurs, Johnson Media Inc., 2013
[3] Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Muhammad SAW: the Super Leader Super Manager, Tazkia Publishing, 2008, hlm. 77.
0 komentar:
Posting Komentar